BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sesuai dengan kenyaataan
bahwa psikologi klinis adalah sains dan juga terapan (science-practitioner),
maka peneliti dlam psikologi klinis sangat perlu dilakukan. Tujuan penelitian
ini adalah untuk membuktikan kebenaran suatu teori dalam praktiknya. Misalnya, teori
sasaran perkembangan Erikson, oudipus complex (treatment), kebenaran
tes-tes kepribadian dan proyeksi dalam mendeteksi gejala-gejala gangguan.
Sebagai konsekuensi dari hali ini adalah bahwa pendapat-pendapat yang
spekulatif harus dihilangkan atau diubah. Tujuan lain psikologi klinis adalah
untuk lebih memahami keunikan perilaku, perasaan dan pikiran individu klien,
bukan untuk mengadakan generalisasi.
Metode penelitian psikologi
klinis pada dasarnya sama dengan metode penelitian pada umumnya, namun tujuan
dan penekanannya adalaha untuk keperluan populasi khusus, misalnya mengetahui
efektivitas suatu perlakuan pada kelompok tertentu, menentukan tes yang dapat
meramalkan kerentanan seseorang terhadap serangan stroke, dan lain-lain.
Metode penelitian yang
digunakan dalam psikologi klinis ini adalah : metode observasi, penelitian
epidemiologi, metode korelasi, penelitian longitudinal, metode eksperimen dan
desain satu kasus.
B. Rumusan
masalah
C. Tujuan
Adapun pembuatan makalah ini
bertujuan untuk mengetahui apa-apa saja metode penelitian yang digunakan dalam
psikologi klinis dan bagaimana metode penelitian dalam psikologi klinis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Metode Penelitian dalam Psikologi Klinis
Menurut
James Drawer dalam kamus “The Penguin Dictionary of Psychology”, istilah
“clinic” dapat diartikan sebagai tempat diagnosa dan pengobatan berbagai
gangguan, fisik, perkembangan atau kelakuan. Dengan demikian metode penelitian psikologi klinis ialah jenis metode dalam psikologi yang
berusaha menyelidiki sejumlah individu yang memiliki kelainan-kelainan secara
teliti dan intensif serta dalam batas waktu yang lama. (Shalahuddin,1990:25)[1]
B. Metode
Penelitian dalam Psikologi Klinis
1.
Metode
observasi
Penelitian yang dilakukan
secara langsung kelapangan. Ada beberapa jenis observasi, yakni observasi tak
sistematik, observasi alami, observasi terkendali, dan observasi pada studi
kasus.
Ø
Observasi
tak sistematik yaitu observasi yang dilakukan secara tidak berurutan atau
beraturan.[2]
Ø
Observasi
alamiah atau naturalistik yaitu observasi yang dilakukan dalam setting alamiah.
Dalam hal
ini peneliti berada di luar objek yang diteliti atau ia tidak menampakkan diri
sebagai orang yng melakukan penelitian.[3]
Ø
Observasi
terkendali (controlled), jenis observasi ini dilakukan untuk memperbaiki
observasi alami yang kurang sistematik dengan memberikan stimulus kepada orang
yang akan diamati dalam setting alamiah, untuk mengetahu sejauh mana stimulus
itu berpengaruh dalam perilaku.
Ø
Studi
kasus, adalah suatu penelitian intensif terhadap satu subjek, yang bertujuan
memberikan deskripsi yang mendetail tentang subjek yang diteliti itu. Peneliti
melakukan wawancara, observasi atu dipelajari biografinya. Yang dilakukan oleh
Freud bersama dengan Breuner dan ditulis dalam buku “Case Studies in Hysteria” merupakan contoh studi kasus, yakni dari
pasien-pasien dengan nama Dora, Anna O, Little Hans, dan seterusnya. Studi kasus
bertujuan mengungkapkan keunikan yang terdapat pada kasus, dan dapat
mengarahkan pada suatu pembentukan hipotesis baru apabila temuan memang sangat
unik. Selain daripada itu, menurut Lazarus dan Davidson, 1971 (dalam phares,
1992) studi kasus sangat bermanfaat untuk memberi deskripsi atas fenomena baru
atau yang jarang terjadi. Studi kasus juga dapat meniadakan informasi yang
sebelumnya dianggap universal.
2.
Metode
penelitian epidemiologis
Metode ini mempelajari
kejadian (incidence), prevalensi, dan distribusi penyakit atau gangguan dalam
suatu populasi. Metode ini biasa dilakukan dalam bidang kedokteran untuk
mengetahui penyebaran penyakit menular dan penyakit-penyakit yang terkait
dengan kondisi daerah tertentu di Indonesia.
Kebanyakan dari penelitian
epidemiologis ini didasarkan atas hasil survei berdasarkan kuesioner yang
disebarkan disuatu daerah tertentu, dengan harapan bahwa subjek yang mengisi
kuesioner akan melaporkan yang sebenarnya. Namun dalam penelitian dengan
kuesioner semacam ini kadangkala terjadi bahwa subjek tidak menyatakan yang
sebenarny, dan menjawab seperti yang dikehendaki oleh peneliti.
3.
Metode
korelasi
Metode korelasi memungkinkan
peneliti untuk menentukan apakah suatu variabel tertentu, misalnya penyakit
influenza, berkaitan dengan variabel lain, misalnya cuaca disuatu daerah. Contoh
lain: apakah ada hubungan antara skor tes intelegensi dengan jenis gangguan
psikiatrik tertentu, apakah ada hubungan antara suatu jenis terapi dengan tingkatan
kesembuhan, apakah ada hubungan antara seks dengan gangguan depresi, dan
sebagainya.
Teknik korelasi memerlukan
dua set data (dari observasi,skor tes dan lain-lain) untuk dicarikan apakah
data set pertama berhubungan dengan data set lainnya, yang kemudian
menghasilkan suatu koefesien korelasi yang berkisar antara -1 (korelasi
negatif) dan +1 (korelasi positif). Koefesien dapat bermakna (signifikan) pada
tingkatan 0,05 (berarti berlaku pada 95 persen pengamatan) atau pada tingkatan
0,01 (berlaku pada 99 persen pengamatan).
Bermakna atau tidaknya suatu
korelasi bergantung pada jumlah sampel yang diteliti. Untuk penelitian bidang
klinis kadang-kadangsuatu koefesiens korelasi yang secara statistik bermakna,
tidak mempunyai makna praktis, tidak menunjukkan korelasi yang bermakna secara statistik.
Misalnya meskipun secara statistik hubungan antara penderita gangguan depresi
dengan kejadian stres tidak bermakna secara statistik, dalam pengalaman praktik
psikologi klinis, hubungan antara kedua hal tersebut patut selalu mendapat
perhatian. Sebaliknya, temuan seperti adanyahubungan yang bermakna antaraskor
TPA (Tes Potensi Akademik) dengan penilaian akademik di universitas pada
populasi mahasiswa yang mengikuti UMPTN, hubungan ini tidak begitu penting
untuk praktik psikologi klinis.
Hasil perhitungan korelasi sering
kali dianggap sebagai bukti bahwa satu variabel merupakan penyebab dari
variabel lainnya. Misalnya jika ada korelasi positif antara banyaknya anak yang
menderita gangguan retardasi mental dengan banyaknya ibu yang pendidikannya
rendah, maka ada kecenderungan untuk menganggap bahwa ibu yang pendidikannya
rendah menyebabkan anak-anak yang kecerdasannya rendah. Penyimpulan seperti ini
tidak benar karena angka korelasi hanya menunjukkan adanya hubungan, tapi
hubungan itu bukan hubungan kausal. Untuk menentukan ada tidaknya suatu
hubungan kausal antara dua variabel perlu dilakukan penelitian eksperimental.
Metode korelasi dapat
berlanjut dengan mengadakan matriks korelasi yang menggambarkan korelasi antara
sejumlah banyak variabel, dan identifikasi adanya faktor-faktor yang jumlahnya
lebih sedikit dari variabel-variabel tadi. Identifikasi faktor-faktor ini
dinamakan analisis faktor, misalnya bila dilakukan antarkorelasi antara
sejumlah variabel seperti umur, pendidikan , lingkungan sosial, berat badan,
keluhan fisik, keluhan psikis. Bisa jadi variabel pendididkan, lingkungan
sosial, merupakan satu faktor, artinya, keduanya saling berkorelasi tinggi.[4]
4.
Penelitian
Longitudinal Versus Cross-Sectional
Dua pendekatan dalam
penelitian ini sering kali dilakukan terhadap populasi lanjut usia, atau
anak-anak dengan kelainan khusus. Penelitian longitudinal ialah Penelitian ini dilakukan secara terus menerus dalam janga waktu tertentu
pada subjek yang sama.Desain penelitian cross
sectional adalah Penelitian ini dilakukan dengan cara
memakai sampel-sampel yang mengawakili usia anak yang ingin diteliti. [5]
5.
Metode
penelitian eksperimental
Istilah
eksperimen (percobaan) dalam psikologi, dapat diartikan sebagai suatu
pengamatan secara teliti terhadap gejala-gejala jiwa yang kita timbulkan dengan
sengaja. Hal ini dimaksudkan untuk menguji hipotesa pembuat eksperimen tentang
reaksi-reaksi individu atau kelompok dalam situasi tertentu atau di bawah
kondisi tertentu. Jadi, tujuan metode eksperimen adalah untuk mengetahui
sifat-sifat umum dalam gejala kejiwaan. Misalnya mengenai pikiran, perasaan,
kemauan, ingatan, dan lain sebagainya. (Shalahuddin,1990:23)[6]
Untuk memastikan adanya
suatu hubungan sebab akibat antara dua peristiwa, perlu dilakukan metode
eksperimen. Misalnya bila peneliti ingin memperkenalkan pengaruh musik pada
emosi gembira pada sejumlah penghuni panti werdha. Untuk menguji dugaan
tersebut perlu dilakukan metode eksperimen. Peneliti memilih dahulu penghuni di
wisma yang akan menjadi kelompok eksperimental yakni yang akan diberi stimulus
musik dangdut pada waktu tertentu misalnya jam 5 sore. Kelompok ini dibandingkan
dengan kelompok kontrol yakni mereka yang ada di wisma lain, yang tidak diberi
musik. Atas dua kelompok ini dicatat observasi perilaku penghuni yang dapat
menggambarkan emosi gembira misalnya: ekspresi wajah, gerakan, kata-kata yang
diucapkan. Observasi akan lebih objektif bila dilakukan pemotretan dengan
kamera video.
Setelah ada observasi awal,
yang dinamakan data dasar (baselin
data), baru diberikan stimulus pada kelompok eksperimental. Observasi dilakukan
sekali lagi terhadap kedua kelompok itu pada saat yang sama, untuk kelompok
eksperimental dan kelompok kontrol. Bila pada kelompok eksperimen terjadi
peningkatan perilaku gembira, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat
peningkatan, maka dapat dikatakan bahwa stimulus musik itu yang menyebabkan
peningkatan perilaku itu. Dalam contoh ini perilaku gembira dinamakan variabel
bebas.
Desain antarkelompok ialah
bila dua kelompok yang dibandingkan, menerima stimulus yang berbeda, yang
dibandingkan akibatnya. Misalnya kelompok A menjalani psikoterapi jenis
konseling nondirektif, dan kelompok B menjalani psikoterapi jenis konseling direktif.
Kemudian dibandingkan yang mana yang lebih efektif. Desain dalam kelompok ialah
bila satu individu dalam kelompok terapi konseling direktif, dibandingkan
kemajuannya dalam beberapa priode, misalnya setelah satu bulan, setelah dua
bulan, dan seterusnya.
Dalam penelitian
eksperimental ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni masalah validitas
internal dan eksternal. Validitas internal adalah adanya jaminan bahwa yang
menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang direncanakan oleh eksperimen itu
adalah hanya stimulus yang diberikan dan bukan hal-hal lainnya. Jadi agar
validitas internal baik, haruslah ada kelompok kontrol.skadang-kadang validitas
internal penelitian eksperimental kurang baik, karena perubaahan yang
dihasilkan oleh eksperimen lebih disebabkan oleh karena adanya harapan dari
peneliti maupun harapan dari subjek yang diteliti. Untuk mencegah hal itu ada
baiknya dilakukan penelitian secara double
blind, artinya baik peneliti maupun subjek yang diteliti sama-sama tidak
tahu siapa yang menjadi kelompok eksperimen dan siapa yang menjadi kelompok
kontrol, juga kelompok mana yang mendapat perlakuan dan mana yang tidak.
6.
Desain
satu kasus
Desain satu kasus mempunyai
satu persamaan dengan desain studi kasus dan desain eksperimental. Dalam desain
satu kasus, diukur perilaku individu sebelum dan sesudah perlakuan, dan hal ini
dilakukan dalam situasi eksperimen. Desaion satu kasus adalah perwujudan dari
pendekatan perilaku, yang mengutamakan spengukuran perilaku nyata.
Salah satu contoh desain
satu kasus yang dapat direncanakan ialah perlakuan misalnyaterhadap seseorang
anak dengan perilaku agresif. Diruang terapi, anak diamati salama beberapa jam/selama
beberapa hari, dicatat perilaku agresif apa saja yang ia tampilkan, dan dicatat
frekuensinya (situasi A). kemudian diberikan perlakuan, yakni apablia anak
memperlihatkan perilaku baik, maka ia diberi imbalan. Perlakuan ini
dipertahankan selama beberapa jam/beberapa hari, dan dicatat lagi perilaku anak
yang positif, yakni duduk diam (B). Setelah itu, kembali lagi anak dibiarkan
seperti situasi A, yakni tidak diberikan perlakuan. Setelah itu kembali
diberlakukan situasi B.
Desain Multiple Baseline
Kadangkala situasi pemberian
imbalan seperti yang terjadi pada situasi B tidak mudah untuk ditiadakan demi
pertimbangan etis. Dalam desain ganda dilakukan hal yang sama dengan kasus anak
perilaku agresif, namun desain ABAB itu diberlakukan dalam dua situasi, yakni di
rumah dan di ruang terapi. Yang diamati dan dicatat base-line nya adalah dalam dua situasi, yakni situasi di ruang
terapi dan situasi di rumah. Dalam situasi terapi tidak perlu diadakan peniadaan
imbalan. Penghentian imbalan dilakukan hanya dalam situasi di rumah. Apabila
peningkatan perilaku positif selalu terjadi menyusul perlakuan (pemberian
hadiah). Maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan itulah yang menyebabkan bertambahnya
perilaku positif dan berkurangnya perilaku agresif.
Desain campuran
Dalam desain ini teknik eksperimental
dan teknik korelasi digabung. Sebagai contoh rancangan penelitian yang
dikemukakan Davison & Neale pada tahun 1990 ialah penelitian mengenai efektivitas
tiga jenis terapi pada penderita gangguan psikiatrik tertentu. Bila pasien
untuk masing-masing jenis terapi tersebut. Dianggap sebagai masing-masing satu
kelompok muka salah atu jenis terapi itu mungkin terlihat lebih berhasil. Namun
bila pasien dalam tiga jenis terapi itu
dibedakan dalam kelompok dengan ganggauan parah dan gangguan ringan, maka
kesimpulannya bisa berbeda untuk tiap kelompok itu. [7]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa metode penelitian
psikologi klinis ialah jenis metode dalam psikologi yang berusaha menyelidiki
sejumlah individu yang memiliki kelainan-kelainan secara teliti dan intensif
serta dalam batas waktu yang lama.
Adapun metode-metode penelitian psikologi klinis
yaitu:
Ø
Metode
observasi
Ø
Metode
penelitian epidemiologis
Ø
Metode
korelasi
Ø
Penelitian
longitudinal dan versus cross sectional
Ø
Metode
penelitian eksperimental
Ø
Desain
satu kasus
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.psychologymania.com/2012/06/metode-penelitian-psikologi-belajar.html
Suprarti Slamet I.S. &
Sumarmo Markam. Pengantar Psikologi
Klinis. Jakarta: UI Press. 2003.
[2]
Suprarti Slamet I.S. &
Sumarmo Markam. Pengantar Psikologi
Klinis. Jakarta: UI Press. 2003. Hal 151
contoh penelitian dengan metode klinis apa ya?
ReplyDelete