Konsep
Pendidikan Mohammad Natsir
Oleh
: Badrul Tamam
“Madju
atau mundurnja salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada peladjaran dan
pendidikan jang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa jang
terbelakang menjadi madju, melainkan sesudahnja mengadakan dan memperbaiki
didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka.” Ini adalah salah satu bunyi pidato
Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan yang beliau sampaikan pada rapat
Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934.[1]
Nama
Mohammad Natsir begitu penting dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia.
Beliau dikenal sebagai pahlawan nasional yang kiprahnya dalam memajukan bangsa
ini, khususnya umat Islam, di waktu lampu telah diakui oleh berbagai kalangan.
Bahkan, pengaruh dari usaha beliau masih dirasakan hingga sekarang.
Pak
Natsir (sapaan akrab beliau) tidak hanya dikenal sebagai sosok negarawan,
pemikir modernis, mujahid dakwah. Tapi, beliau dikenal juga sebagai seorang
aktivis pendidik bangsa yang telah menorehkan episode sejarahnya di Indonesia
sejak awal kemerdekaan hingga masa orde baru. Pemikirannya banyak digali dan
dijadikan sebagai titik tolak kebangkitan umat Islam dalam berbagai macam
bidang.
Pada
tahun 1940 hingga 1945, pak Natsir menjabat sebagai kepala biro pendidikan
Kodya Bandung dan merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di
Jakarta. Hal ini sebagai bukti tambahan bahwa beliau sudah bersinggungan dengan
dunia pendidikan sejak mudanya. Tentunya beliau memiliki pemikiran dalam bidang
pendidikan yang patut untuk digali oleh generasi sesudahnya, agar mendapatkan
gambaran nyata tentang konsep beliau dalam masalah pendidikan.
Pendidikan
Menurut M. Natsir
Beliau
berpendapat bahwa pendidikan bukanlah bersifat parsial, pendidikan adalah universal,
ada keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat
jasmani dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-cabang ilmu.[2]
Beliau
sangat tegas menolak teori dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu agama dan
ilmu umum. Makanya beliau menampik pemisahan pendidikan agama dan pendidikan
umum. Dikotomi ilmu agama dan ilmu umum adalah teori yang lahir dari rahim
sekularisme.[3]
Hal
ini tentunya sesuai dengan pandangan al-Qur’an tentang manusia. Bahwa manusia
adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang
memungkinkan ia diberi pendidikan. Selanjutnya manusia ditugaskan untuk menjadi
khalifah muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada Allah dalam arti
seluas-luasnya.[4] Ia tidak akan bisa melaksakan tugas ini sebaik-baiknya
kecuali dengan penguasaan yang baik terhadap kedua ilmu ini. Selain itu bahwa
tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat, tidak akan diperoleh dengan sempurna kecuali dengan keduanya.
Pendidikan
Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam
sama dengan tujuan kehidupan manusia. Menurut Hasan Langgulung, tujuan
pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari tujuan kehidupan manusia, tujuan
ini tercermin dalam al Qur’an Surat Al-An’am: 162.
“Katakanlah:
‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam’.”[5]
Urgensi
Pendidikan Menurut M. Natsir
Pak
Natsir memandang pendidikan sebagai satu hal yang sangat penting. Keberadaannya
menjadi prasyarat kemajuan sebuah bangsa. Di antara pernyataan beliau yang
telah disebutkan di awal tulisan ini.
Madju
atau mundurnja salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada peladjaran dan
pendidikan jang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa jang
terbelakang menjadi madju, melainkan sesudahnja mengadakan dan memperbaiki
didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka.
Beliau
berpandangan bahwa kemunduran dan kemajuan tidak bergantung pada ketimuran atau
kebaratan. Tidak bergantung pada putih, kuning, atau hitamnya warna kulit. Tapi
bergantung kepada ada atau tidaknya sifat-sifat atau bibit kesanggupan dalam
salah satu umat, yang menjadikan mereka layak atau tidak menduduki tempat yang
mulia di atas dunia ini. Dan ada atau tidaknya sifat-sifat dan kesanggupan
(kapasitet) ini bergantung kepada didikan jasmani dan rohani yang mereka terima
untuk mencapai yang demikian. [6]
Terkhusus dalam perjuangan Islam, peran pendidikan, menurutnya, begitu sangat
signifikan. beliau berpandangan bahwa dunia pendidikan adalah bagian dari kekuatan
umat Islam yang harus senantiasa dijaga, dipikirkan dan diberdayakan. Hal ini
sebagaimana pesan beliau kepada jama’ahnya yang disampaikan oleh Ketua Umum
Dewan Dakwah Indonesia, Ust. Syuhada Bahri:
Pak
Natsir selalu berpesan kepada jama’ahnya, ada tiga kekuatan umat, yaitu masjid,
kampus, dan pesantren. Ini adalah basis kekuatan Islam. Beliau meminta umat
untuk memikirkan dan memberdayakan itu.[7]
Tujuan
Pendidikan Islam
Bagi
M. Natsir, fungsi tujuan pendidikan adalah memperhambakan diri kepada Allah SWT
semata yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya.[8] Hal ini juga yang disimpulkan oleh Prof. DR. H. Abuddin
Nata, M.A, tentang tujuan pendidikan Islam menurut M. Natsir, bahwa pendidikan
Islam ingin menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan
jasmaninya kepada Allah SWT.[9]
Hal
ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu sendiri. Bahwa mereka
diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya kepada Allah semata. Oleh
karenanya segala usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana, di antaranya
adalah pendidikan.
Firman
Allah Ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyaat: 56)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah:
‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam’.” (QS. Al-An’am: 162)
Menurut
M. Natsir antara tujuan pendidikan dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan.
Keduanya sama (identik). Tujuan pendidikan adalah tujuan hidup. Beliau
mengatakan:
Akan
memperhambakan diri kepada Allah, akan menjadi hamba Allah, inilah tudjuan hidup kita di
atas dunia ini. Dan lantaran itu, inilah pula tudjuan didikan yang wajib kita
berikan kepada anak-anak kita, jang lagi sedangv menghadapi kehidupan.[10]
Menyembah
Allah, meliputi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah ilahi, yang
membawa kepada kebesaran dunia dan akhirat, serta menjauhkan diri dari semua
larangan-larangan yang menghalangi tercapainya kemenangan dunia dan akhirat
itu. Untuk menjadi hamba Allah yang sebenarnya harus memiliki sifat dan
syarat-syaratnya, di antaranya berilmu.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ
عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Faathir: 28)
Memperhambakan
diri semacam ini adalah kepentingan dan keperluan yang menyembah bukan yang
disembah.
“Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyaat: 57-58)
Penghambaan
kepada Allah yang menjadi tujuan hidup dan tujuan pendidikan kita, bukanlah
suatu penghambaan yang memberi keuntungan bagi yang disembah, tetapi
penghambaan yang mendatangkan kebahagiaan bagi yang menyembah. Penghambaan yang
memberikan kekuatan bagi yang menyembahnya.
وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Dan
barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya
sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi
Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40)
Supaya
menjadi orang yang memperhambakan segenap jasmani dan rohaninya kepada Allah
SWT untuk kemenangan dirinya dalam arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai
oleh manusia, itulah tujuan hidup manusia di dunia ini dan tujuan pendidikan
Islam yang harus diberikan kepada generasi Islam.[11] Tujuan ini beliau istilahkan dengan Islamictisch
paedagogisch Ideal.[12]
Tauhid
Sebagai Dasar Pendidikan
Konsep
ini pertama kali dimunculkan oleh M. Natsir pada tahun 1937, melalui artikelnya
di majalah Pedoman Masyarakat yang bertajuk tauhid sebagai dasar
pendidikan.
Tauhid
harus menjadi dasar berpijak setiap muslim dalam melakukan segala kegiatannya,
diantaranya pendidikan. M. Natsir juga menggariskan bahwa tauhid haruslah
dijadikan dasar dalam kehidupan manusia, diantaranya dalam masalah pendidikan.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang diasaskan pada tauhid.
Mengenal
Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempertjajai dan mejerahkan diri kepada Tuhan, tak
dapat harus mendjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan jang hendak diberikan
kepada generasi jang kita latih, djikalau kita sebagai guru ataupun sebagai
Ibu-Bapa, betul-betul tjinta kepada anak-anak jang dipertaruhkan Allah kepada
kita.[13]
Beliau
berpandangan bahwa pendidikan tauhid harus diberikan kepada anak sedini
mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum didahului oleh materi
dan ideologi dan pemahaman lain. Supaya ia memiliki tali Allah untuk
bergantung. “Hubungan dengan manusia dan sesama machluk dapat diadakan kapan
sadja waktunya. Akan tetapi hubungan dengan Ilahi tidaklah boleh
dinanti-nantikan setelahnja besar atau berumur landjut.” [14] Kata beliau.
Hasil
dari pendidikan model ini akan melahirkan generasi-generasi yang memiliki
hubungan kuat dengan penciptanya serta mengutamakan mu’amalah sesama makhluk.
Dan inilah dua syarat wajib untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan
hidup, lahir dan batin.
Allah
berfirman (yang M. Natsir terjemahkan): “Malapetaka dan kehinaanlah yang
akan menimpa mereka, di mana sadja mereka berada, ketjuali apabila mereka
mempunyai hubungan dengan Allah dan pertalian sesama manusia.” (QS. Ali
Imran: 112)[15]
Menurut
Natsir, meninggalkan dasar tauhid dalam pendidikan anak merupakan kelalaian
yang amat besar. Bahayanya, sama besarnya, dengan penghianatan terhadap
anak-anak didik. Walaupun sudah dicukupkan makan dan minumnya, pakaian dan
perhiasannya, serta dilengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya.
Semua ini, menurutnya, tidak ada artinya apabila meninggalkan dasar ketuhanan
(ketauhidan) dalam pendidikan mereka.[16]
M.
Natsir memandang bahwa lahirnya para intelektual muslim yang menentang Islam
dan kelompok yang wastern-minded adalah akibat dari pendidikan yang
tidak berbasis agama yang benar. Dari sinilah beliau melihat sisi pentingnya
tauhid sebagai dasar dari pendidikan Islam.[17]
Materi
Pendidikan Islam
Materi
pendidikan Islam haruslah berisi pelajaran yang bisa menghantarkan kepada
tujuan pendidikan dalam Islam. yaitu menjadi khalifah di muka bumi ini sebagai
bentuk ibadah kepada Allah dalam arti yang luas. Materi ini tidak terbatas pada
pelajaran keagamaan tapi juga mencakup pelajaran ilmu pengetahuan umum dan
teknologi (scient). Hal dapat kita lihat dari pendangan M. Natsir tentang barat
dan timur yang tidak beliau pertentangkan dalam menuntut ilmu.
Beliau
tidak setuju adanya dikotomi materi pendidikan, antara pendidikan barat (ilmu
pengetahuan umum/scient) dan pendidikan timur (keagamaan). Bahwa kalau lembaga
pendidikan scient harus tidak diajarkan ilmu Islam, sedangkan lembaga pendidikan
Islam tidak boleh belajar ilmu pengetahuan modern (scient). Tetapi beliau
berusaha menggabungkan dua meteri tersebut. Karena dien melingkupi berbagai
macam keterangan hidup. Karena seorang muslim tidak mungkin pengkaji ilmu
pengetahuannya dengan melepaskannya dari Islam. Jika ilmu pengetahuan
dipisahkan dari ilmu agama maka akan lahir para ilmuwan yang tidak beragama
atau para agamawan yang tidak berilmu.[18]
M.
Natsir berusaha menggabungkan pendidikan pengetahuan umum dengan agama. Beliau
tidak sepakat dengan sistem pendidikan sekular, yang memisahkan agama dari
dunia. Maka pada Juni 1938, sebagaimana yang ditulis dalam Pandji Islam
dan Pedoman Masyarakat, beliau mengkritik keras sebuah pemikiran
pendirian tiga sekolah tinggi di Jakarta, Solo, dan Surabaya.
Di
Jakarta didirikan Perguruan tinggi yang bersifat kebaratan, dalam bidang umum
saja, tanpa ada pelajaran agama Islam. yang diprioritaskan bagi lulusan H.B.S
atau A.M.S, dan tidak dibuka kesempatan bagi lulusan Tsanawiyah Islam. Di Solo
didirikan sekolah tinggi untuk para muballighin, sedangkan di Surabaya
didirikan sekolah tinggi untuk para alumni pesantren. Dalam gagasan ini sekolah
diterapkan dikotomi ilmu. Bahwa perguruan tinggi bidang pengetahuan umum tidak
perlu diajarkan masalah agama. Sedangkan perguruan tinggi yang mengajarkan
agama tidak usah diajarkan ilmu pengetahuan umum. Menurut beliau hal ini akan
berakibat pada lahirnya para intelektual yang menentang Islam dan dan kelompok
yan western-minded.[19]
M.
Natsir menyadari bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat tidak didapat melalui
penguasaan ilmu agama semata, tetapi juga ilmu pengetahuan umum (saint) dan
teknologi yang merupakan perangkat untuk mengemban perintah Allah. Oleh
karenanya, dalam sekolahan yang didirikannya “PENDIS” memadukan pendidikan
Islam dengan pendidikan umum. “Beliau ingin membuktikan kepada Belanda dan
masyrakat bahwa pendidikan dan perguruan Islam mampu bersaing dengan pendidikan
konvensional lainnya mencetak output yang berkualitas.” Ungkap Gamal
Abdul Nasir Zakaria. [20]
Belajar
Boleh Ke Mana Saja
M.
Natsir termasuk orang yang memiliki pandangan luas. Menatap jauh ke depan.
Tidak melihat dunia seluas daun kelor. Ia memandang bahwa barat dan timur
merupakan bumi ciptaan Allah. Semuanya milik Allah. Kedua-duanya memiliki
kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan kejelekan. Beliau tidak mempertentangkan
barat dan timur dalam masalah ilmu pengetahuan, tapi beliau tegas
mempertentangkan antara haq dan batil. Dan inilah antagonisme yang dikenal oleh
Islam. Semua yang hak harus diterima walaupun datangnya dari barat, sedangkan
yang batil akan harus disingkirkan walaupun datangnya dari timur.
Beliau
menganjurkan umat Islam agar tidak terlalu mempertentangkan antara barat dan
timur dalam bidang pengetahuan. Dalam masalah ilmu pengetahuan dan sciens untuk
kemakmuran duniawi umat Islam, boleh mengambil dari dunia barat yang pada
kenyataannya lebih maju. Karena sebagai hamba Allah dilarang melupakan nasibnya
di dunia ini. Ia dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang
halal.[21]
Menurut
beliau, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, bukanlah dua hal yang
bertentangan yang harus dipisahkan. Melainkan dua serangkai yang harus saling
melengkapi dan dilebur menjadi satu susunan yang harmonis dan seimbang.[22]
Tanggungjawab
Pendidikan Anak
Pendidikan
anak dalam Islam, sesuai yang dipahami M. Natsir, pada dasarnya adalah menjadi
tanggung jawab ibu-bapak (orang tua). Hukumnya fadlu ‘ain. Karena anak,
dalam pandangan Islam, adalah amanat bagi keduanya yang harus dididik dan
dipimpin. Keduanya bertanggungjawab atas anak-anak mereka. Hal ini sesuai
dengan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
(QS. At-Tahrim: 6)
Menurut
M. Natsir, maksud ayat ini adalah: “harus kita berikan kepada anak dan istri
kita didikan yang memeliharanya dari dari kesesatan dan memberi keselamatan
kepadanya di dunia dan akhirat.”[23]
Sabda
Rasulullah SAW: “Tiada seorang bayipun yang lahir melainkan dilahirkan di
atas fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau
Nashrani.” (HR. Bukhari)
Mengurus
pendidikan anak-anak orang Islam bukan hanya menjadi fardlu ‘ain bagi
orang tuanya, tapi juga menjadi fadlu kifayah bagi tiap-tiap anggota
dalam sebuah masyarakat. Beliau dasarkan pada firman Allah QS. Ali Imran: 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah
orang-orang yang beruntung.”
Kaum
muslimin wajib mengadakan satu kelompok yang mengadakan pendidikan untuk
anak-anak orang Islam, supaya pendidikan mereka tidak digarap oleh orang-orang
yang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak seiman, dan tidak seagama. hal ini
sesuai dengan perintah Allah dan pesan Rasulullah SAW.
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ
أَنْفُسِهِمْ
Sebagian
besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri. . . . (QS.
Al-Baqarah: 109)
Peran
M. Natsir Dalam Dunia Pendidikan
Jejak
M. Natsir dalam bidang pendidikan sudah ada sebelum negeri ini merdeka. Ketika
Indonesia berada di bawah jajahan Jepang (1942-1945) seluruh partai Islam
dibubarkan kecuali empat organisasi islam yang tergabung dalam MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia) yaitu; NU, Muhammadiyah, PUI yang berpusat di Majalengka,
dan PUII yang berpusat di Sukabumi. Empat generasi tersebut kemudian tergabung
dalam satu wadah, yaitu MASJOEMI, penjelmaan baru MIAI. Pada 1945 Masjoemi
mengadakan rapat yang menghasilkan dua putusan penting, pertama, membentuk
barisan mujahidin dengan nama Hizbullah untuk berjuang melawan sekutu. Kedua,
mendirikan perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI), STI kemudian
hari menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Maksud
berdirinya STI adalah untuk memberikan pendidikan tinggi tentang agama Islam,
sehingga dapat bagi masyarakat di kemudian hari. Dewan Ketua Kurator STI
dijabat Mohammad Hatta dan Natsir sebagai sekretarisnya. Rektor Magnificus oleh
KH. A. Kahar Muzakkir dan Natsir pula sebagai sekretarisnya, dan Prawoto
Mangkusasmito sebagai wakil sekretaris.
Di
samping menjabat sebagai sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di
Jakarta, Pak Natsir, di kala itu, menjabat sebagai kepala biro pendidikan Kodya
Bandung.
Pada
tahun 1932-1942, beliau memimpin Lembaga Pendidikan Islam (PENDIS). Lembaga ini
menjadi model alternative dari sistem pendidikan kolonial. Sekaligus hadir
sebagai jawaban dari sistem pendidikan sekular belanda saat itu. Beliau
berpendapat pendidikan bukanlah bersifat parsial. Pendidikan adalah universal,
ada keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat
jasmani dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-cabang ilmu.[24] Beliau berusaha menggabungkan pendidikan pengetahuan umum
dengan agama. Beliau tidak sepakat dengan sistem pendidikan sekular, yang
memisahkan agama dari dunia. Pendis juga menjadi cikal bakal lahirnya
Universitas Islam Bandung (UNISBA), yang saat menjadi universitas terpandang di
kota kembang.[25]
Setelah
matang membangun Pendis, Natsir mengarahkan andilnya untuk membangun perguruan
Islam lainnya. Beliau melakukan adanya koordinasi dan penyelarasan program
pendidikan perguruan Islam bakal melahirkan institusi pendidikan Islam yang
memiliki keseragaman dasar dan cita-cita. Guna merealisasikan tujuannya ini,
beliau menyeru perguruan dan institusi pendidikan Islam di Indonesia untuk
membentuk wadah bersama yang diberi nama Perikatan perguruan –Perguruan Muslim
(PERMUSI).[26]
Beliau
juga tercatat sebagai penggagas di balik berdirinya Badan Kerja Sama Perguruan
tinggi Islam Swasta (BKS PTIS) yang kini memiliki anggota lebih dari 500 PTIS
se Indonesia.[27]
Dari
gagasan M. Natsir lahirlah kampus-kampus Islam yang memiliki nama besar,
seperti Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, Universitas Islam
Sumatera Utara (UISU) di Medan, Universitas Islam Bandung (UNISBA) di Bandung,
Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makasar, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
di Semarang, Universitas Islam Riau (UIR) di Riau, Universitas Al-Azhar
Indonesia, dan LPDI Jakarta yang kini menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID)
Mohammad Natsir.
Pada
tahun 1982, M. Natsir juga pernah mengkritik keras isi buku PMP yang berisi
ajaran Pruralisme agama. Di antaranya dalam hal 14 yang berbunyi: semua
agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya. Setelah dikoreksi
kalimat tersebut berbunyi, “Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci
tujuannya, menurut agama masing-masing.” Koreksi ini kata beliau, bukan
memperjelas, tapi membingungkan. “Mana ada satu agama yang tidak menganggap
dirinya sendiri suci dan benar? Apakah dianggap perlu, PMP mengajarkan kepada
anak keturunan kita yang sedang tumbuh itu umpamanya, kertas putih ini warnanya
putih!?” tulis M. Natsir.[28]
Penutup
Inilah
pemikiran Pak M. Natsir dalam dunia pendidikan, yang membuktikan bahwa beliau
seorang tokoh Islam yang memiliki pandangan luas tentang kemaslahatan umat
Islam. semoga kita sebagai generasi yang datang sesudahnya mampu mengembangkan
pemikiran-pemikiran beliau untuk kemalahatan Islam dan kaum muslimin. Wallahu
A’lam bi ash-Shawab!!!
Referensi:
Natsir,
Mohammad, Capita Selecta, dihimpun oleh D.P. Sati Salimin, Penerbit
Bulan Bintang, Jakarta, Cet III, 1973.
____________,
Majalah Al-Mujtama’, Eidi 3 Th I, Seabad Mohammad Natsir: Maestro Dakwah Yang
Tak Kenal Lelah, Juli 2008.
____________,
Majalah Sabili, Edisi Khusus 100 Tahun Mohammad Natsir,
Prof.
DR. H. Abuddin Nata, M.A. Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama,
Jakarta,
____________,
Majalah Media Dakwah, no. 251, Mei 1995.
[1] Mohammad Natsir, Capita Selecta, dihimpun oleh D.P. Sati
Salimin, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cet III, 1973, hal. 77
[2] Ulil Amri Syafri, M.A, Pemikiran Pendidikan Natsir;
Parade Yang Belum Usai, dalam Majalah Al-Mujtama’, Eidi 3 Th I, JUli
2008, Hal. 45
[3] Ganna Parydharizal, Konsep Pendidikan M. Natsir “Mendidik
Umat Dengan Tauhid”, diambil dari Majalah Sabili, Edisi Khusus 100 tahun
Mohammad Natsir, hal. 44.
[4] Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A. Filsafat Pendidikan
Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal, 101
[5] Ibid, hal.102
[6] M. Natsir, Capita Selecta, Hal. 78
[7] Majalah Al-Mujtama’, hal. 68
[8] Ulil Amri Safri, MA, Pemikiran Pendidikan Natsir Parade
Yang Belum Usai, dalam Majalah Al-Mujtama’, hal. 45.
[9] Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A. Filsafat Pendidikan
Islam, hal.102
[10] Mohammad Natsir, Capita Selecta I, hal. 82
[11] Mohammad Natsir, Capita Selecta I, hal. 84
[12] Ibid
[13] Ibid, hal. 142
[14] Ibid, hal. 143
[15] Ibid: hal. 143
[16] Ibid
[17] Ulil Amri Safri, MA, Pemikiran Pendidikan Natsir Parade
Yang Belum Usai, dalam Majalah Al-Mujtama’, hal. 45.
[18] Amrullah Ahmad, Pendidikan Dalam Perspektif Epistemologi
Islam, dalam Media Dakwah, no. 251, Mei 1995, hal. 34
[19] Ibid
[20] Ganna Parydharizal, Konsep Pendidikan M. Natsir
“Mendidik Umat Dengan Tauhid”, diambil dari Majalah Sabili, Edisi Khusus
100 tahun Mohammad Natsir, hal. 47
[21] Ibid, hal. 85
[22] Ibid
[23] Mohammad Natsir, Capita Selecta I, hal. 81
[24] Ulil Amri Safri, MA, Pemikiran Pendidikan Natsir Parade
Yang Belum Usai, dalam Majalah Al-Mujtama’, hal. 45.
[25] Ganna Parydharizal, Konsep Pendidikan M. Natsir
“Mendidik Umat Dengan Tauhid”, diambil dari Majalah Sabili, Edisi Khusus
100 tahun Mohammad Natsir, hal. 48
[26] Ibid,
[27] Ibid
[28] Hepi Andi Bastomi, Menjaga Pelita Agar Tak Padam,
diambil dari Majalah Al-Mujtama’, Edisi 3, th. 1, JUli 2008, hal. 36
0 comments:
Post a Comment
Please jangan Komentar spam, karena sudah dipermudah untuk berkomentar