Sejumlah ahli mengajukan teori bahwa sumber Islam di kepulauan Melayu-Indonesia adalah anak benua India selain Arab dan Persia. Orang pertama yang menggunakan teori ini adalah Pijnappel yang berkebangsaan Belanda dari universitas Leiden. Dia mengaitkan asa-usul Islam di Nusantara ke kawasan Gujarat dan Malabar dengan alas an bahwa orang-orang Arab bermadzhab Syaf’I bermigrasi dan menetap di daerah-daerah tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian direvisi oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa Islam memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota pelabuhan India Selatan. Sejumlah Muslim Dhaka banyak yang hidup disana sebagai perantara dalam perdagangan antara Timur Tangah dan Nusantara yang datang di kepulauan Melayu sebagai para penyebar Islam pertama. Berikutnya Snouck Hurgronje berteori bahwa mereka
diikuti oleh orang-orang Arab, terutama yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Dengan memakai gelar Sayyid atau Syarif, yang menjalankan dakwah Islam, baik sebagai para ustadz maupun sultan. Snouck Hurgronje tidak menyebutkan secara eksplisit bagian mana dari India Selatan yang dia lihat sebagai sumber Islam di Nusantara. Meskipun demikian, dia berpendapat bahwa abad ke-12 merupakan waktu yang paling mungkin bagi saat paling awal Islamisasi di kepulauan Melayu-Indonesia.
diikuti oleh orang-orang Arab, terutama yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Dengan memakai gelar Sayyid atau Syarif, yang menjalankan dakwah Islam, baik sebagai para ustadz maupun sultan. Snouck Hurgronje tidak menyebutkan secara eksplisit bagian mana dari India Selatan yang dia lihat sebagai sumber Islam di Nusantara. Meskipun demikian, dia berpendapat bahwa abad ke-12 merupakan waktu yang paling mungkin bagi saat paling awal Islamisasi di kepulauan Melayu-Indonesia.
Ilmuwan Belanda lainnya, Muquette, menyimpulkan bahwa asal-usul Islam di Nusantara adalah Gujarat di pesisir selatan India. Dia mendasrkan kesimpulannya setelah mempertimbangkan gaya batu nisan yang ditemukan di Pasai, Sumatera Utara, khususnya yang bertanggal 17 Dzuhijjah 831 H / 27 September 1428 M, yang identik dengan batu nisan yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (1419 M) di Gresik, Jawa timur. Dia menyatakan lebih lanjut bahwa corak batu nisan yang ada di Pasai dan Gresik sama dengan yang ditemukan di Cambay, Gujarat. Dia berspekulasi bahwa dari penemuanpenemuan itu, batu nisan Gujarat tidak hanya di produksi untuk pasar lokal, tetapi juga untuk pasar luar negeri termasuk Sematera dan Jawa. Oleh karena itu, berdasarkan logika linier, Moquette menyimpulkan bahwa karena mengambil batu nisan dari Gujarat, orangorang Melayu-Indonesia juga mengambil Islam dari wilayah tersebut.
Dengan logika linier yang lemah itu tidak heran kalau kesimpulan Muquette ditentang oleh Fatimi yang berpendapat bahwa salah jika mengaitkan seluruh batu nisan yang ada di Pasai, termasuk batu nisan Malik al-Shalih, dengan Cambay. Menurut penelitiannya sendiri, gaya batu nisan Malik al-Shalih sangat berbeda dengan corak batu nisan Gujarat dan prototype Indonesianya. Fatimi berpendapat bahwa pada kenyataannya bentuk batu nisan itu sama dengan yang ada di Bengal. Oleh karena itu, sama dengan logika linier Moquette, Fatimi ironisnya menyimpulkan bahwa semua batu nisan itu pasti diimpor dari Bengl. Ini menjadi alas an utamanya untuk menyimpulkan lebih lanjut bahwa asal-asul Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia adalah daerah Bengal (kini, Bangladesh).
Agaknya teori Fatimi sangat terlambat untuk menolak teori Moquette karena ada sejumlah pakar lain yang telah mengambil alih kesimpulan Moquette. Yang menonjol diantara mereka adalah Kern, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke dan Hall. Namun, sebagian diantara mereka memberikan tambahan argumentasi untuk mendukung Moquette. Ahli sastra Melayu, William Winstedt, misalnya menunjukkan batu nisan yang sama di Bruas, tempat sebuah kerajaan melayu Kuno di Perlak, Semenanjung Malaya. Dia menyatakan bahwa semua batu nisan di Barus, Pasai dan Gresik diimpor dari Gujarat, maka Islam pasti pula dibawa dari sana. Dia juga menulis bahwa sejarah melayu mencatat adanya kebiasaan lama di daerah Melayu tertentu untuk mengimpor batu nisan dari India. Sosiolog asal Belanda, Schrieke, mendukung teori itu dengan menekankan peranan penting yang dimainkan oleh para pedagang Muslim Gujarat dalam perdagangan di Nusantara dan sumbangan mereka terhadap penyebaran Islam.
Namun, sebagian ahli lain memandang teori yang menyatakan asal-usul Islam di Nusantara adalah Gujarat tidak terlampau kuat. Marison, misalnya berpendapat bahwa beberapa batu nisan di bagian tertentu Nusantara mungkin berasal dari Gujarat, tetapi tidak selalu berarti bahwa Islam juga dibawa dari sana ke kawasan ini. Marison membantah teori tersebut dengan menunjukkan kenyataan bahwa selama masa Islamisasi Samudera Pasai, yang penguasa Muslim pertamanya meninggal pada 698 H / 1298 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu yang menunjukkan sikap bermusuhan terhadap orang-orang Muslim. Baru pada tahun 699 H / 1298 M wilayah Cambay dikuasai oleh kaum Muslim. Jika Gujarat merupakan pusat para juru dakwah Islam dalam melakukan perjalanan menju kepulauan Melayu-Indonesia, maka Islam pasti telah tegak dan tumbuh subur di Gujarat sebelum kematian Malik al-Shalih, persisnya, sebelum 698 H / 1297 M. Morrison lebih jauh mencatat, bahwa meskipun kaum Muslim menyerang Gujarat beberapa kali pada 415 H / 1024 M, 574 H / 1178 M dan 695 H / 1197 M, para raja Hindu mampu mempertahankan kekuasaan disana sampai 698 H / 1297 M. Kesimpulannya, Morison mengemukakan teorinya bahwa Islam di perkenalkan di kepulauan Melayu-Indonesia oleh para juru dakwah Muslim dari Coromandel pada akhir abad ke-13.
Penting dicatat bahwa menurut Arnold, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal kedatangan Islam, melainkan juga dari wilayah Arab. Dalam pandangannya, padagang Arab juga membawa Islam ketika mereka menguasai perdagangan Barat-Timur semenjak awal abad ke-7 dan ke-8. Meskipun tidak ada catatan sejarah ihwal penyebaran Islam oleh mereka, adalah patut diduga bahwa dalam satu hal atau lainnya mereka terlibat dalam penyebaran Islam kepada kaum pribumi. Argemen ini tampaknya lebih masuk akal jika orang mempertimbangkan, misalnya, fakta yang disebutrkan sebuah sumber di Cina bahwa menjelang perempatan ketiga abad ke-7 seorang Arab pernah menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir Barat Sumatera. Beberapa orang Arab ini melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi sehingga kemudian membentuk nucleus sebuah komunitas Muslim yang para anggotanya, ungkap Arnold telah memeluk Islam.
Menurut Hikayat raja-raja Pasai yang ditulis setelah 1350 (Hill, 1960:58-60), seseorang bernama Syaikh Ismail datang dengan perahu dari Makkah lewat Malabar menuju Pasai, tempat dia menonversi Merah silau, penguasa daerah tersebut ke dalam Islam. Merah Silau kemudian menggunakan gelar Malik al-Shaleh, meninggal Dunia 1297 M. Kira-kira satu abad kemudian, sekitar 1414 M, menurut sejarah Melayu (yang dikompilasi setelah 1500), penguasa Malaka juga diislamkan oleh Sayyid Abd Al-Aziz, seorang Arab berasal dari Jeddah. Sang penguasa, Parameswara menggunakan nama dan gelar Sultan Muhammad Syah tidak lama setelah masuk Islam (Djajadining, 1982:12).
Ada empat hal utama yang ingin disampaikan historiografi tradisional lokal semacam ini. Pertama, Islam di Nusantara di bawa langsung dari tanah Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru atau Juru Dakwah ‘profesional”. Ketiga, orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah para penguasa. Keempat, sebagian besar para juru dakwah “professional” datang di Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Orang-orang Muslim dari luar memang telah ada di Nusantara sejak abad pertama Hijriah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Arnorld dan ditegaskan oleh kalangan ahli Melayu-Indonesia, tetapi jelas bahwa hanya setelah abad ke-12 pengaruh Islam dikepulauan Melayu menjadi lebih jelas dan kuat. Oleh karena itu, Islamisasi tampaknya baru mengalami percepatan khususnya selama abad ke-12 sampai abad ke-16
0 comments:
Post a Comment
Please jangan Komentar spam, karena sudah dipermudah untuk berkomentar