Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan bahwa waris-mewarisi terjadi jika terpenuhi tiga rukun, yaitu adanya muwarrits (orang yang meninggal dunia), adanya warits (orang yang mewarisi harta peninggalan muwarrits, dan selanjutnya disebut ahli waris), dan adaya mauruts (harta peninggalan dari muwarrits). Pada tulisan kali ini akan disorot rukun ketiga, yaitu tentang mauruts. Istilah lain yang lebih populer untuk mauruts adalah tirkah atau tarikah.
Secara umum, harta peninggalan (tirkah) berarti semua yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh pada ahli warisnya. Dengan pengertian ini, maka peninggalan mencakup hal-hal berikut ini:
- Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda tak-bergerak (rumah, tanah, kebun), benda bergerak, (kendaraan), piutang muwarrits yang menjadi tanggungan orang lain, diyah wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh yang melakukan pembunuhan karena tidak sengaja, uang pengganti qishash karena tindakan pembunuhan yang diampuni atau karena yang membunuh adalah ayahnya sendiri, dan sebagainya.
- Hak-hak kebendaan, misalnya hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu-lintas, sumber air minum, irigasi, dan lain-lain.
- Hak-hak yang bukan kebendaan, misalnya hak khiyar, hak syuf'ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan, dan sebagainya.
- Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, misalnya benda-benda yang sedang digadaikan oleh si muwarrits, barang-barang yang dibeli oleh si muwarrits ketika ia masih hidup yang harganya sudah dibayar tetapi barangny belum diterima, dan sebagainya.
Secara khusus, pengertian tirkah berbeda-beda menurut para ahli fiqih. Di kalangan ahli fiqih bermadzhab Hanafi, terdapat tiga pendapat:
a) Pendapat pertama menyatakan bahwa tirkah adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si muwarrits yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain. Jadi tirkah hanya mencakup pengertian nomor 1 dan 2 di atas. Tirkah ini nantinya harus digunakan untuk memenuhi biaya pengurusan jenazah si muwarrits sejak meninggalnya sampai dikuburkan, pelunasan utang, penunaian wasiat, dan hak ahli waris.
b) Menurut pendapat kedua, tirkah adalah sisa harta setelah diambil biaya pengurusan jenazah dan pelunasan utang. Jadi tirkah di sini adalah harta peninggalan yang harus dibayarkan untuk melaksanakan wasiat dan yang harus diberikan kepada para ahli waris.
c) Pendapat yang ketiga mengartikan tirkah secara mutlak, yaitu setiap harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit. Dengan demikian, tirkah mencakup benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, biaya pengurusan jenazah, pelunasan utang, pelaksanaan wasiat, dan pembagian warisan kepada para ahli waris
Ibnu Hazm sependapat dengan madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa harta peninggalan yang dapat diwariskan adalah yang berupa harta benda melulu, sedangkan yang berupa hak-hak tidak dapat diwariskan, kecuali jika hak-hak itu mengikuti kepada bendanya, misalnya hak mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan di atas tanah.
Menurut madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali, tirkah mencakup semua yang ditinggalkan si mayit, baik berupa harta benda maupun hak-hak. Dan hak-hak ini bisa hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan. Hanya Imam Malik yang memasukkan hak-hak yang tidak dapat dibagi, misalnya hak menjadi wali nikah, ke dalam keumuman arti hak-hak.
Demikianlah pendapat beberapa ulama tentang pengertian tirkah (hata peninggalan). Dari harta peninggalan si mayit, menurut pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, terdapat hak-hak yang harus ditunaikan sebelum harta itu dibagi-bagi kepada para ahli waris. Hak-hak atas harta peninggalan ini harus ditunaikan dengan mengikuti urutan sebagai berikut:
- Pengurusan jenazah si mayit sejak meninggalnya sampai dikuburkan (tajhiz),
- Pelunasan utang si mayit,
- Penunaian (pelaksanaan) wasiat si mayit, dan
- Hak ahli waris.
Ini berarti bahwa pembagian harta warisan kepada para ahli waris dilaksanakan setelah diselesaikannya ketiga maacam hak, yaitu pengurusan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.
Semua biaya untuk pengurusan jenazah didahulukan daripada pelunasan utang, pelaksanaan wasiat, dan pemberian kepada ahli waris karena pengurusan jenazah sejak meninggal sampai dikuburkan merupakan kebutuhan vital baginya sebagai ganti nafaqah dharuriyah ketika ia masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dari hadits berikut ini:
"Dari Ibnu Abbas RA diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang tengah menjalankan ihram dibanting oleh untanya (hingga meninggal). Kami ketika itu bersama-sama dengan Rasulullah SAW. Lalu Nabi SAW memerintahkan, ‘Mandikan dengan air dan daun bidara, jangan beri minyak wangi, dan jangan tutup kepalanya karena sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengucapkan talbiyah.’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i)
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW tidak meneliti dan menanyakan apakah si mayit memiliki utang atau tidak, tetapi beliau langsung memerintahkan agar mayit tersebut dimandikan dan dikafani. Beliau tidak memerinci setiap peristiwa jika peristiwa itu menduduki keumuman apa yang diucapkan. Dengan demikian jelas bahwa biaya pengurusan jenazah si mayit harus diahulukan daripada pelunasan utang si mayit.
Adapun pelunasan utang didahulukan daripada pelaksanaan wasiat berdasarkan hadits berikut:
"Dari Ali bin Abi Thalib RA diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Utang (dilunasi) sebelum (melaksanakan) wasiat, dan tidak ada wasiat bagi ahli waris.’” (HR Ad-Daru Quthni)
Selanjutnya, wasiat didahulukan daripada pembagian harta kepada para ahli waris karena seandainya pembagian warisan yang didahulukan (dan tidak dibatasi jumlahnya), maka besar kemungkinan tidak ada lagi sisa harta yang harus diberikan kepada para ahli waris.
trims infonya
ReplyDeleteHukum waris memang cukup rumit. Thanks infonya
ReplyDelete